Ilustrasi. (Foto: pexels.com)
JAKARTA, medinavoyage.id — Seperti yang umum diketahui bersama, shalat memiliki rukun, sunnah, dan makruh. Adapun rukun terbagi menjadi rukun qalbi, rukun qauli, dan rukun fi’li. Kemudian, yang sunnah terbagi menjadi sunnah ab’adh dan sunnah haiat.
Semua perkara-perkara tersebut banyak dibahas dalam banyak artikel dan bisa kita temukan dengan mudah. Sedangkan hal-hal makruh, dapat penulis sebut sebagai topik yang jarang dibahas.Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis akan menjelaskan perkara-perkara makruh dalam shalat. Kemudian, Poin implikasi perkara makruh terhadap sahnya shalat juga akan dibahas.
Syekh Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi al-Bantani dalam kitab Kasyifatus Saja Syarh Safinatun Najah menjelaskan, sedikitnya ada 21 perkara yang makruh dilakukan dalam shalat. Beberapa hal di antaranya jika dilakukan secara sengaja tanpa alasan, seraya cenderung mempermainkan shalat, maka dapat membatalkan shalat. Berikut hal-hal makruh dalam shalat sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Nawawi:
Pertama, menyimpan tangan pada salah satu atau kedua saku, baik pada saat takbiratul ihram, rukuk, sujud, berdiri dari sujud, tasyahud, atau duduk tasyahud.Kedua, menoleh ke kiri atau ke kanan tanpa ada kebutuhan. Adapun jika ada kebutuhan, seperti menjaga atau menoleh barang bawaan, maka itu tidak makruh.
Ketiga, memberi isyarat dengan mata, alis, atau dengan bibir, tanpa ada kebutuhan, meskipun dilakukan oleh orang yang bisu. Memang hal itu tidak makruh jika dilakukan karena ada kebutuhan seperti isyarat menjawab salam, dan tidak sampai membatalkan shalat, selama dilakukan bukan dengan tujuan bercanda atau main-main. Namun, jika dilakukan dengan tujuan bergurau atau mempermainkan shalat, maka bisa membatalkan.
Berikut kutipan dari Syekh Nawawi:
وَثَالِثُهَا إِشَارَةٌ بِنَحْوِ عَيْنٍ أَوْ حَاجِبٍ أَوْ شَفَةٍ بِلَا حَاجَةٍ وَلَوْ مِنْ أَخْرَسَ وَلَا تَبْطُلُ بِهَا الصَّلَاةُ مَا لَمْ تَكُنْ عَلَى وَجْهِ اللَّعِبِ وَإِلَّا بَطَلَتْ أَمَّا إِذَا كَانَتْ لِلْحَاجَةِ كَرَدِّ السَّلَامِ وَنَحْوِهِ فَلَا يُكْرَهُ
Artinya, “Ketiganya memberi isyarat dengan mata, alis, atau bibir, tanpa ada kebutuhan, meskipun dari orang yang tunawicara. Dengan itu, memang shalatnya tidak batal selama bukan tujuan bergurau. Namun, jika tujuannya bercanda maka batal. Adapun jika isyarat karena kebutuhan, seperti menjawab salam dan semacamnya, maka tidak makruh.” (Syekh Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi, Kasyifatus Saja Syarh Safinatun Najah, [Indonesia: Darul Ihya, t.t.], halaman 70-71).
Keempat, mengeraskan bacaan Al-Fatihah dan surat pada shalat-shalat yang disunahkan melirihkannya. Atau sebaliknya, melirihkan bacaan pada shalat-shalat yang disunahkan mengeraskannya jika tidak ada uzur atau alasan.
Artinya, jika ada alasan kuat, seperti keadaan bising yang membutuhkan bacaan yang nyaring, maka tidak dimakruhkan.Kelima, meletakkan tangan atau kedua tangan pada pinggang tanpa uzur. Namun, jika dilakukan karena uzur, seperti menahan sakit, maka itu tidak dimakruhkan.
Keenam, tergesa-gesa dalam shalat. Artinya, tidak tenang, baik dalam perbuatan maupun dalam ucapan. Pun makruh hukumnya berjalan tergesa-gesa untuk menghadirinya. Karena, sunahnya adalah berangkat lebih awal dan berjalan menuju masjid dengan tenang dan tak terburu-buru. Dikecualikan memang terburu-buru karena khawatir ketinggalan berjamaah atau ketinggalan rakaat Jumat, maka itu diharuskan.
Ketujuh, memejamkan mata sementara tidak ada kekhawatiran terhadap bahaya. Pasalnya, pada saat sujud, bulu mata pun dianjurkan turut bersujud bersama anggota lainnya. Artinya, jika memang ada bahaya seperti debu atau kotoran yang bisa masuk mata, maka tidak dimakruhkan. Begitu pula jika shalat di depan dinding atau gambar yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat, maka tidak makruh untuk dipejamkan.
Kedelapan, merapatkan tangan pada lambung saat rukuk atau sujud. Kesembilan, duduk seperti hewan, yaitu duduk pada panggul, sedangkan kaki ditegakkan, serta kedua telapak tangan diletakkan pada lantai atau tempat duduk.
Kesepuluh, memukulkan kening pada tempat sujud pada saat sujud meskipun disertai tuma’ninah. Jika tidak disertai tuma’ninah, maka sujudnya tidak cukup.
Kesebelas, bersujud seperti duduknya hewan, yaitu meletakkan telapak tangan, lengan, dan siku pada tempat sujud.
Kedua belas, berlebihan dalam menundukkan atau membungkukkan kepala pada saat rukuk.
Ketiga belas, melamakan tasyahud awal selain pada makmum, seperti dengan menambah bacaan shalawat pada keluarga Nabi atau doa. Adapun jika melamakan tasyahud bukan dengan menambah shalawat pada keluarga Nabi atau dengan doa, maka tidak makruh.
Keempat belas, mempertemukan dan menyela jari-jari tangannya dengan jari-jari tangan yang lain. Sesungguhnya, di luar shalat hal ini juga makruh dilakukan, karena dapat mewarisi rasa kantuk.
Kelima belas, menekuk atau melipat jari-jari tangan supaya berbunyi.
Keenam belas, meletakkan tengah selendang di bawah pundak kanan dan ujungnya di pundak sebelah kiri.
Ketujuh belas, melakukan isbal, yaitu menurunkan kain hingga menutupi mata kaki dan menyentuh lantai.
Kedelapan belas, meludah ke depan atau ke kanan saat shalat di luar masjid. Sementara jika meludahnya ke kiri, maka tidak dimakruhkan. Lain halnya jika shalat di dalam masjid, maka meludah ke depan, ke kanan, atau ke kiri, apalagi sampai mengenai dan mengotori masjid, maka hukumnya haram. Sementara jika dibuang pada ujung pakaian sebelah kiri, maka tidak makruh dan tidak haram.
Kesembilan belas, mengikat pakaian atau rambut bagi laki-laki dengan tujuan menghalangi rambut ikut sujud bersamanya. Lain halnya bagi perempuan. Justru ia wajib mengikatnya karena menyangkut keabsahan shalat.
Kedua puluh, meletakkan telapak tangan pada mulut tanpa ada kebutuhan. Adapun jika ada kebutuhan seperti menguap, maka tidak makruh. Justru dianjurkan menutupnya dengan punggung telapak tangan kiri. Kedua puluh satu, menutup mulut atau memakai cadar bagi laki-laki melebihi bagian mulut.
Demikian 21 perkara yang dimakruhkan dalam shalat. Larangan melakukan hal-hal makruh ini lebih cenderung untuk menjaga kekhusyukan dan kehormatan shalat. Tidak sampai membatalkan shalat, kecuali memang dilakukan secara sengaja seraya mempermainkan shalat. Wallahu a’lam.
Penulis: Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Sumber: NU Online