Ilustrasi. (Foto: pexels.com)
JAKARTA, medinavoyage.id–Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh umat Muslim ketika hendak melaksanakan shalat adalah waktu. Masuknya waktu shalat merupakan salah satu syarat keabsahan shalat, termasuk shalat Zuhur.Kata “zuhur” dalam bahasa Arab berarti “sangat panas.”
Shalat ini dinamakan shalat Zuhur karena waktu pelaksanaannya bertepatan dengan suasana yang sangat panas, yaitu setelah matahari tergelincir dari puncaknya.
Dalil Waktu Shalat ZuhurDukung kami untuk terus berkembangBaca Juga:Ini Susunan Dzikir dan Wirid setelah Shalat Zuhur, Ashar, dan Isya.
Surah Al-Isra’ ayat 78 mengindikasikan waktu shalat Zuhur. Berikut ayatnya:
اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْاٰنَ الْفَجْرِۗ اِنَّ قُرْاٰنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا
Artinya: “Dirikanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula salat) Subuh! Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra [17]: 78).
Syekh Nawawi dalam kitab Marāh Labīd Jilid I (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, 1417: 634) menafsirkan ayat tersebut dengan perintah melaksanakan shalat mulai dari waktu matahari bergeser dari puncak langit hingga waktu berkumpulnya gelap malam, yang merupakan waktu shalat isya.
Artinya, mendirikan shalat dengan memperhatikan setiap shalat sesuai waktunya masing-masing. Shalat yang masuk dalam batas tergelincirnya matahari (zawalusy syamsi) adalah waktu Zuhur, Ashar, dan Magrib.
Sementara Imam Bukhari menuliskan cuplikan riwayat dari Jabir terkait waktu shalat Zuhur yang dipraktikkan Nabi. Berikut riwayatnya:
وَقَالَ جَابِرٌ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّي بِالْهَاجِرَةِ
Artinya: “Jabir berkata, ‘Nabi SAW biasa melaksanakan salat di waktu hājirah’.” (HR. Imam Bukhari).
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Jilid II (Mesir, Al-Maktabah as-Salafiyah, 1390: 21).menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan kebiasaan Rasulullah melaksanakan shalat Zuhur di waktu hājirah. Hājirah adalah waktu siang ketika matahari sedang terik di puncak ketinggian langit, biasanya menjelang atau di sekitar waktu salat zuhur.Waktu tersebut dikenal sebagai waktu paling panas di daerah gurun atau Arab.
Sehingga boleh jadi istilah hājirah berasal dari akar kata hajr yang bermakna meninggalkan, menunjukkan bahwa orang-orang pada waktu tersebut meninggalkan aktivitas luar rumah untuk beristirahat tidur siang (qailulah) lantaran panas yang ekstrem.
Awal Waktu Shalat ZuhurAdapun batas awal waktu shalat zuhur yaitu ketika tergelincirnya matahari dari pertengahan langit dan condong ke arah barat. Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab Jilid III (Kairo, Matba’ah At-Tadamun Al-Ikhwaniyah, 1347: 21) menulis sebagai berikut:
أَمَّا أَحْكَامُ الْمَسْأَلَةِ فَأَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الظُّهْرِ زَوَالُ الشَّمْسِ نَقَلَ الْإِجْمَاعَ فِيهِ خَلَائِقُ وَدَلِيلُهُ الْأَحَادِيثُ السَّابِقَةُ وَالْمُرَادُ بِالزَّوَالِ مَا يَظْهَرُ لَنَا لَا الزَّوَالُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ فَإِنَّ ذَلِكَ يَتَقَدَّمُ عَلَى مَا يَظْهَرُ وَلَكِنْ لَا اعْتِبَارَ بِذَلِكَ وَإِنَّمَا يَتَعَلَّقُ التَّكْلِيفُ وَيَدْخُلُ الْوَقْتُ بِالزَّوَالِ الذى يظهر لنا
Artinya, “Adapun hukum dalam masalah ini, umat Islam telah sepakat (ijmak) bahwa awal waktu salat Zuhur adalah sejak tergelincirnya matahari (zawalusy syams). Konsensus ini diriwayatkan oleh banyak ulama, dan dalilnya adalah hadits sebelumnya (Jibril menjelaskan waktu shalat pada Nabi). Maksud dari “zawal” adalah bergesernya matahari sebagaimana tampak bagi kita (manusia), bukan zawal yang secara hakiki (di alam realitas), karena pasti lebih awal daripada yang terlihat.
Namun, hal itu tidak menjadi pertimbangan (hukum). Patokannya dalam syariat adalah zawal yang tampak bagi kita, karena dengan itulah kewajiban dimulai dan waktu shalat masuk.”
Dari keterangan Imam Nawawi di atas dapat ditegaskan 2 hal:Pertama, konsensus di kalangan umat Islam terkait awal waktu shalat Zuhur. Ibnu Hajar al-Asqalani juga menukil terjadinya konsensus tersebut yang lahir setelah terjadinya perbedaan mengenai batas awal waktu shalat Zuhur baik di kalangan sahabat maupun ulama mazhab.
فَإِنَّهُ يَقْتَضِي أَنَّ زَوَالَ الشَّمْسِ أَوَّلُ وَقْتِ الظُّهْرِ، إِذْ لَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ صَلَّى قَبْلَهُ، وَهَذَا هُوَ الَّذِي اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ الْإِجْمَاعُ، وَكَانَ فِيهِ خِلَافٌ قَدِيمٌ عَنْ بَعْضِ الصَّحَابَةِ أَنَّهُ جَوَّزَ صَلَاةَ الظُّهْرِ قَبْلَ الزَّوَالِ. وَعَنْ أَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ مِثْلَهُ فِي الْجُمُعَةِ كَمَا سَيَأْتِي فِي بَابِهِ
Artinya, “Sesungguhnya (hadits ini) menunjukkan bahwa matahari yang condong adalah awal waktu salat zuhur. Karena tidak ada riwayat yang dinukil bahwa Nabi pernah shalat zuhur sebelum zawal. Inilah yang menjadi kesepakatan (ijmak) umat Islam.
Namun, sebelumnya terdapat perbedaan pendapat lama di kalangan sebagian sahabat yang membolehkan shalat Zuhur sebelum zawal. Begitu pula dari Imam Ahmad dan Ishaq terdapat pendapat serupa (yang membolehkan pelaksanaan salat Jumat sebelum zawal) sebagaimana akan dijelaskan dalam bab yang membahas hal tersebut.”
Kedua, bahwa yang menjadi acuan hukum dalam batas awal waktu shalat Zuhur yaitu apa yang tampak oleh manusia, bukan peredaran hakiki matahari yang sesuai realitasnya. Sebab, peredaran matahari secara hakiki sudah dipastikan mendahului ketimbang yang tampak dari penglihatan mata manusia.
Ketentuan ini memiliki konsekuensi serius terhadap keabsahan shalat Zuhur. Karena shalat Zuhurnya dihukumi tidak sah bila dilaksanakan dengan berpatokan pada tergelincirnya matahari yang sesuai realitas, tapi secara kasat mata belum terlihat, sebagaimana pendapat Al-Juwaini dalam Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab Jilid II (Beirut, Darul Minhaj, 2007: 8).
Akhir Waktu Shalat ZuhurImam Nawawi menyebutkan batas akhir waktu shalat Zuhur dan 5 ragam pendapat mengenai persoalan keluarnya waktu Zuhur tersebut. Beliau menegaskan:
وَأَمَّا آخِرُ وقت الظهر فهو إذا صار ظل الشئ مِثْلَهُ غَيْرَ الظِّلِّ الَّذِي يَكُونُ لَهُ عِنْدَ الزَّوَالِ وَإِذَا خَرَجَ هَذَا دَخَلَ وَقْتُ الْعَصْرِ مُتَّصِلًا بِهِ وَلَا اشْتِرَاكَ بَيْنَهُمَا هَذَا مَذْهَبُنَا وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَاللَّيْثُ وَأَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ وَأَحْمَدُ وَقَالَ عَطَاءٌ وَطَاوُسٌ إذَا صَارَ ظل الشئ مِثْلَهُ دَخَلَ وَقْتُ الْعَصْرِ وَمَا بَعْدَهُ وَقْتُ للظهر وَالْعَصْرِ عَلَى سَبِيلِ الِاشْتِرَاكِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وقال اسحق بْنُ رَاهْوَيْهِ وَأَبُو ثَوْرٍ وَالْمُزَنِيُّ وَابْنُ جَرِيرٍ إذَا صَارَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ فَقَدْرُ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ بعده وقت للظهر وَالْعَصْرِ ثُمَّ يَتَمَحَّضُ الْوَقْتُ لِلْعَصْرِ وَقَالَ مَالِكٌ إذَا صَارَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ فَهُوَ آخِرُ وَقْتِ الظُّهْرِ وَأَوَّلُ وَقْتِ الْعَصْرِ بِالِاشْتِرَاكِ فَإِذَا زَادَ عَلَى الْمِثْلِ زِيَادَةً بَيِّنَةً خَرَجَ وَقْتُ الظُّهْرِ وَعَنْ مَالِكٍ رِوَايَةٌ أَنَّ وَقْتَ الظُّهْرِ يَمْتَدُّ إلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَبْقَى وَقْتُ الظُّهْرِ حَتَّى يَصِيرَ الظِّلُّ مِثْلَيْنِ فَإِذَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ يَسِيرًا
Dari penjelasan beliau bisa dipetakan ragam pendapat terkait berakhirnya waktu zuhur.Pertama, mazhab Syafi’i berpendapat akhir waktu Zuhur yaitu ketika bayangan dan bendanya memiliki ukuran yang sama panjangnya, selain bayangan yang sudah ada ketika zawal. Tidak ada waktu bersama (isytirak) antara Zuhur dan Ashar. Setelah waktu Zuhur selesai, waktu Ashar langsung dimulai. Pendapat ini juga diikuti oleh para ulama seperti Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Al-Laits, Abu Yusuf, Muhammad, dan Ahmad bin Hanbal.
Kedua, pendapat Atha’ dan Thawus yaitu waktu Ashar dimulai saat bayangan benda sama panjangnya, tetapi waktu zuhur masih berlangsung hingga matahari terbenam. Artinya, ada waktu bersama antara zuhur dan ashar.
Ketiga, pendapat Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaur. Ketika bayangan benda sama panjangnya, ada waktu sekitar empat rakaat yang merupakan waktu bersama antara zuhur dan Ashar. Setelah itu, waktu khusus Ashar dimulai.
Keempat, pendapat Imam Malik. Akhir waktu Zuhur dan awal waktu Ashar terjadi bersamaan ketika bayangan benda dan bendanya berukuran sama. Namun, jika melebihi panjang benda dengan tambahan yang jelas, waktu Zuhur selesai. Dalam riwayat lain dari Imam Malik, waktu zuhur berlangsung hingga matahari terbenam.
Kelima, pendapat Abu Hanifah. Waktu Zuhur tetap ada hingga bayangan benda menjadi dua kali lipat dari panjang benda tersebut. Setelah itu, waktu Zuhur selesai dan mulai masuk waktu Ashar.
Demikianlah batas awal dan akhir waktu shalat Zuhur dalam syariat Islam yang menjadi patokan umat Muslim agar shalatnya dianggap sah. Karena melaksanakan shalat pada waktunya merupakan salah satu syarat keabsahan shalat. Wallahu a’lam.
Penulis: Moh Soleh Shofier, Alumni Ma’had Aly Situbondo
Sumber: NU Online