Ilustrasi. (Foto: id.pngtree.com)
JAKARTA, medinavoyage.id–Isra’ berasal dari kata kerja asraa-yusrii yang berakar dari saara-yasiiru yang berarti berjalan. Dari akar kata ini pula muncul istilah siirah (biografi) yang mencatat perjalanan hidup seseorang dan sayyaarah (kelompok pejalan) yang di era modern diartikan sebagai mobil.
Adapun miraj berasal dari ‘araja-ya’ruju yang berarti naik, tetapi juga memiliki makna singgah. Istilah ini digunakan dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan perjalanan luar biasa Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa Isra dan Mi’raj diabadikan dalam Al-Qur’an, surat Al-Isra’ ayat 1:
“Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Peristiwa ini terjadi setelah ‘Amul Huzni (tahun kesedihan), masa penuh duka bagi Nabi Muhammad saw karena wafatnya Khadijah binti Khuwailid dan Abu Thalib, dua sosok yang setia mendukung dakwah beliau di tengah tekanan Quraisy.
Dalam kondisi penuh kesedihan ini, Allah SWT menghibur Nabi dengan perjalanan spiritual yang luar biasa: Isra (perjalanan malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa) dan Mi’raj (naik ke langit ketujuh).
Di langit ketujuh, Nabi Muhammad SAW menerima perintah shalat lima waktu. Berbeda dari wahyu lainnya, perintah salat ini langsung diberikan melalui perjalanan Miraj, menunjukkan keistimewaan dan kemuliaan ibadah shalat dalam Islam.
Salat mengajarkan disiplin waktu dan nilai-nilai spiritual yang memengaruhi hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama.
Salat bukan sekadar ibadah individual, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Ketika dilakukan secara berjamaah di masjid, shalat menjadi ajang interaksi sosial.
Melalui shalat berjamaah, jamaah dapat mengetahui kondisi satu sama lain, seperti ketika ada anggota jamaah yang sakit atau mengalami kesulitan.
Isra Miraj mengajarkan bahwa kesedihan dapat terobati melalui shalat yang dilakukan dengan khusyuk, disertai doa dan zikir.
Selain sebagai terapi spiritual, salat juga menjadi pengingat untuk menjaga hubungan sosial. Kerapatan shaf dalam shalat berjamaah menjadi simbol pentingnya persatuan dalam bermasyarakat.
Peristiwa Isra (horizontal) dan Miraj (vertikal) memberikan pelajaran bahwa hubungan sosial dengan sesama manusia perlu dijaga sebelum memperbaiki hubungan dengan Tuhan.
Kesalehan tidak cukup dibuktikan dengan ibadah ritual semata, tetapi juga melalui interaksi sosial yang baik.
Dalam konteks kepemimpinan, baik di organisasi maupun masyarakat, pemimpin perlu memastikan adanya persatuan visi dan misi di antara anggota sebelum mengarahkan mereka pada tujuan yang lebih besar.
Dalam Muhammadiyah, misalnya, seorang pimpinan bertugas menanamkan ideologi dan semangat bermuhammadiyah kepada warga dan kader agar terwujud amal saleh kolektif yang terarah.
Isra Mi’raj adalah peristiwa monumental yang mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kesalehan ritual dan sosial.
Seorang muslim diajak untuk tidak hanya memperbaiki hubungan dengan Allah SWT, tetapi juga membangun interaksi yang baik dengan sesama manusia.
Dengan begitu, nilai-nilai shalat yang diajarkan melalui peristiwa Isra Mi’raj dapat benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sumber: https://majelistabligh.id/27658/isra-miraj-refleksi-spiritual-dan-sosial-dalam-kehidupan-bermasyarakat/