Ilustrasi: (Foto: pexels)
Bukan untuk dihindari. Segala yang dilihat, didengar, dan dirasakan dalam hidup ini bukanlah untuk dihindari. Sebaliknya, semua itu harus dihadapi.
Yang terpenting adalah mempersiapkan diri untuk menyaring apa yang masuk ke dalam jiwa—agar yang kita serap adalah intisari kebaikan, bukan sekadar ampasnya.
Inilah hidup. Seiring bertambahnya usia, kewajiban pun bertambah, situasi berubah, namun pola pikir terkadang tak terarah.
Saat mencoba berbagi keluh kesah dengan sesama, sering terlintas, “Apakah aku hanya menambah bebannya?” Akhirnya, hanya air mata yang bisa melegakan segalanya.
Sering kali, orang lain melihat kita begitu tegar, begitu bahagia, padahal hati penuh berkecamuk. Menjadi anak berarti harus taat kepada orang tua meskipun mereka sudah tidak seperti dulu. Ingin meraih surga, namun terkadang jalan terasa dekat dengan neraka.
Menjadi istri artinya harus menjadi sosok yang mendukung suami, meski kadang tak memahami pola pikirnya. Sebagai istri, kita harus tetap berdiri tegak agar semua berjalan semestinya.
Menjadi ibu adalah menjadi taman bagi anak-anaknya—mengorbankan segalanya demi kebahagiaan mereka.
Pada akhirnya, semua ini hanya bisa kita kembalikan kepada Allah, Sang Maha Segala. Berharap penuh keyakinan bahwa Dia akan selalu menuntun kita menuju secercah cahaya.
Al-Mar’atu wal Mir’atu (Wanita dan Cermin)
Aku, Aghnia, seorang santriwati berusia 13 tahun di salah satu pondok pesantren ternama di Yogyakarta. Salah satu hobiku adalah mengamati sekeliling, terutama tingkah polah teman-teman sekamarku.
Di kamar, kami berisi 16 santriwati. Di antara mereka, ada satu teman yang menarik perhatianku. Namanya Aisyah, sosok imut, hitam manis, cerdas, dan bersahaja.
Setiap pagi, dia selalu berlama-lama di depan cermin, dari menyeka dahi, pipi, hidung, hingga dagunya. Dia tampak sangat menikmati momen itu. Kadang, aku melihat bibirnya “komat-kamit,” terkadang tersenyum manis.
Karena penasaran, aku memberanikan diri bertanya, “Apa yang kamu lakukan di depan cermin, Aisyah?”
Dengan santun, ia menjawab, “Wanita itu makhluk mulia. Bahkan, ada yang berkata bahwa saat Allah menciptakan wanita, Dia tersenyum. Umi-ku pernah berpesan bahwa wanita sulit terpisah dari benda bernama cermin. Maka, setiap kali Aisyah bercermin, Aisyah berdoa: ‘Allahumma kama hasanta khalqi, fahassin khuluqi’ (Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperindah penampilanku, maka perindahlah akhlakku).”
“Jadi, itulah alasanku berlama-lama di depan cermin. Aku ingin Allah memberiku akhlak yang baik.”
Sejak hari itu, aku mulai mengingat pesan Aisyah, meski kadang masih lupa. Hehehe…
Berguna Bukan Sempurna
Kita sering mendamba kesempurnaan—baik dalam penampilan, pekerjaan, maupun aspek hidup lainnya. Namun, pernahkah kita menyadari bahwa kesempurnaan hanya ada di akhirat, tempat penuh ridha Allah SWT?
Hidup di dunia bukanlah tentang menjadi sempurna, tetapi tentang menjadi berguna. Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi orang lain” (HR Ahmad).
Terkadang, kita merasa takut untuk melangkah. Takut salah, takut gagal, takut tidak diterima.
Namun, ingatlah bahwa Allah menilai amal bukan dari kesempurnaan, tetapi dari niatnya. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya” (HR Bukhari & Muslim).
Kebaikan tidak selalu harus besar. Bahkan, kebaikan kecil yang kita lakukan bisa memberi dampak besar bagi orang lain. Jangan biarkan rasa takut akan ketidaksempurnaan menghalangi kita untuk berbuat baik.
Karena sesungguhnya, hidup ini bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang memberi manfaat.
Wallahu a’lam bish-shawab.(*)
*) Oleh: Nurul Fatimah,
Bagian SDI MI Muhammadiyah Kertek, Wonosobo
Sumber: https://majelistabligh.id/28021/sepondok-3-cinta/