Dodo Murtado. (Foto: Istimewa)
Di pengasingan yang sunyi, teraleniasi dari kehidupan ramai, gunung batu yang tandus tegak angkuh, hamparan pasir yang kering dan debu-debu halus menjadi mozaik senyap, manusia bahkan hewan tertentu enggan hadir sebagai sebuah kehidupan tempat itu. Di tempat seperti itulah Nabi Ayyub AS diasingkan dari kehidupannya dengan penderitaan yang dicobakan Tuhan.
Kezuhudan Ayyub sebagai seorang utusan Tuhan yang dikaruniakan kelimpahan harta dan kemuliaan hidup, tidak luput dari perbincangan malaikat-malaikat di langit yang mengamati tingkah dan prilaku manusia setiap detik bahkan setiap helaan napas manusia.
Salah satu malaikat berkata kepada sesamanya: “Aku tidak melihat seorang manusia yang hidup di atas bumi Allah yang lebih baik dari hamba Allah Ayyub”. Kesalehan Ayyub juga tidak luput dari radar setan yang jengah dan memohon kepada Tuhan untuk menggoda keimanan Ayyub. Dalam hikayatnya, setan yang mendapat mandat Tuhan untuk meluluhlantakkan keimanan Ayyub, tidak mampu menggoyah keimanan Ayyub.
Dalam derita dan lirih doanya, Nabi Ayyub AS berucap, “Tuhan, jangan cabut dua perkara (nikmatMu), yaitu akal pikiran dan lidahku. Karena aku memerlukan akal pikiran itu guna mengingatMu, dan memerlukan lidah untuk menyebut nama dan memujiMu”.
Doa itu dipanjatkan ketika penderitaan hebat menimpanya. Nabi Ayyub mengikhlaskan Tuhan mencabut seluruh kemuliaan hidupnya, harta, dan anak-anaknya direnggut seketika, tubuhnya nyaris hanya tulang dan sehelai rambut karena penyakit hebat menghisap darahnya.
Kisah Nabi Ayyub juga mewartakan ketabahan seorang wanita melampaui sisi manusianya. Wanita itu menjadi perisai akhir yang bisa direnggut setan, dan wanita itu juga manusia terakhir yang meninggalkan Ayyub dalam penyesalan luar biasa berurai tangisan pilu, karena harus kehilangan suaminya yang menolak untuk dirawat.
Rahmah, wanita tangguh itu telah melakukan segalanya untuk suami tercinta, hingga harus menjual gelungan rambut indahnya, mustika keindahan yang dikagumi Ayyub dari Rahmah. Dalam hikayahnya, wanita itu diusir Ayyub karena dianggap telah “berdamai” dengan penggoda.
Dua hal, akal dan lidah, menjadi kekuatan luar biasa manusia dan itu digunakan Ayyub. Akal menggerakkan seluruh metabolisme daya pikir dan bersenyawa dengan lidah sebagai media kanalisasi hasil daya pikir dari proses keteraturan sel-sel tubuh lain. Akal-aql-menjadi piranti Nabi Ayyub merefleksikan kemanusian-nya agar tetap jernih, bening, dan lurus meyakini sebuah totalisme penyerahan, lidah mengkonfirmasi keyakinan tersebut dalam remah-remah doa dan puji yang dipintal.
Akal menjadi medium melakukan ikhtiar, daya upaya, dan cara melakukan manifestasi atas kemanusiaan yang esensial dan menjadi pembeda utama dari mahkluk lain, dan lidah satu kesatuan yang bekerja menurut akal, darinya, bait dan frasa kata bersyukur, mengeluh, mengumpat, berzikir, mengecap rasa, menjadi stigma seseorang atas dirinya dari orang lain dan Tuhan.
Dalam kondisi rapuh secara fisik, Ayyub menempuh jalan asketis, kebeningan akal menjaga lidahnya konsisten dan bening meneteskan embun kehidupan dan menyejukkan jiwanya, menetralisir dari perdaya dan muslihat setan yang berusaha masuk keseluruh rongga hidupnya.
Akal (aql) dan kemampuan berfikir manusia, mengantarkan pada suatu kesadaran tentang bagaimana mengenal lebih intim Tuhan dalam sunyi, dan lidah dengan zikir serta puji, menjadi gita melodius yang menjadi wasilah para sufi disetiap tirakatnya. Momen keterasingan dan kesunyian, dianjurkan Tuhan untuk bisa berdialog berdua denganNya. Tuhan sebagai Maha Pendengar akan sangat dekat di momen pertiga malam, dekat dengan hambanya yang terjaga dalam salat dan doa.
Saat ini, kesepian menjadi tema besar masyarakat borjuis, manusia terisolasi dari akal dan lidahnya sendiri. Kesepian mereka telah menghilangkan tanggungjawab sosialnya, bahkan semakin menjauhkan dirinya dari kasih sayang Tuhan. Akalnya lelah karena selalu berfikir dunia, lidahnya kelu karena selalu berkata keruh. Akal dan lidah adalah maha nikmat yang tiada terkira bagi kita yang dihibahkan Tuhan untuk digunakan mengingat dan menyebut namaNya. Lalu nikmat apalagi yang engka dustakan?, begitulah Tuhan mempertanyakan.
Dodo Murtado : Pranata Humas Ahli Muda Biro Humas dan Komunikasi Publik Kemenagg RI, Ketua Yayasan Kiai Ali
Sumber: Kemenag