Syafi’i (Kepala Pusbangko. Manajemen, Kepemimpinan dan Moderasi Beragama Kemenag)
Sekarang kita berada di bulan Syawal. Bulan kesepuluh dalam kalender Hijriyah ini datang setelah Ramadlan yang baru saja kita lalui. Dalam kalender Hijriah hitungan hari dalam sebulan sebanyak 29 atau 30 hari, sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi (tidak banyak menulis dan berhitung). Satu bulan itu ada kalanya seperti ini dan seperti ini (sambil memberi isyarat dengan jari-jarinya), yakni sekali dalam 29 hari dan sekali dalam 30 hari”. (HR Bukhori dan Muslim). Oleh karena itu, setahun dalam kalender Hijriah lebih cepat sekitar 12 hari dibanding dengan setahun kalender Masehi.
Bukan sebuah kebetulan bulan kesepuluh ini dinamai Syawal dan datang setelah bulan yang kesembilan, Ramadlan. Kata “Syawwal” (dobel ‘w’ atau ‘wau syiddah’) dalam bahasa Arab berarti “meningkat” atau “mengangkat”. Sedangkan Ramadlan berasal dari bahasa Arab رمضان (Ramaḍān), yang akar katanya رمض (ramaḍ) berarti “panas yang membakar” atau “teriknya panas” (Ibnu Manzhur, 2000). Secara maknawi, Ramadlan sering dikaitkan dengan pembakaran dosa melalui ibadah, puasa, dan peningkatan spiritual.
Dengan demikian, “peningkatan” kualitas dan “pengangkatan” kepada level yang lebih tinggi lebih mudah dicapai setelah beban (dosa) hilang karena “dibakar”. Ibarat mesin yang selesai di-tune up, performanya menjadi meningkat, karena kerak dan karat yang menempel sudah dibakar habis.
Manusia Baru
Memasuki bulan Syawal adalah memasuki fase sebagai manusia baru yang tercerahkan. Peningkatan spiritualitas dan kepekaan sosial yang terasah melalui pengalaman berpuasa mestinya ditransformasikan dalam semua aspek kehidupan agar tidak sekedar menjadi pemenuhan kewajiban beragama. Sayangnya, pengalaman Ramadlan sering kali dibiarkan menjadi sekedar ritual keagamaan rutin tahunan. Dari tahun ke tahun hanya repitisi ritual dan selebrasi pada hari Idul Fitri. Setelah itu selesai. Tahun berikutnya seperti itu lagi, memulai dari awal lagi dan berakhir pada titik yang sama dari tahun sebelumnya atau bahkan lebih buruk dari itu. Keindahan Ramadlan dan atmosfir yang menyertainya menguap bersamaan dengan berakhirnya perayaan Idul Fitri.
Idul Fitri sebagai penanda awal bulan Syawal membawa pesan yang sangat jelas. Yaitu kembalinya manusia kepada asal kejadian: bertuhan, bersosial, berbudaya, dan bermoral. Pesan ini dapat ditangkap dari anjuran bertakbir (deklarasi akan kebesaran Tuhan dan pengakuan kekerdilan manusia di hadapan-Nya), membayar zakat fitrah sebelum pelaksanaan sholat Id, sholat Id berjamaah, memakai wewangian, dan bersilaturrahim.
Dalam belenggu nafsu dan memenuhi hasrat egonya, manusia terkadang melupakan Tuhan, merasa tidak perlu atau membatasi diri dalam berinteraksi sosial, mengabaikan budaya luhur, dan mengenyampingkan moralitas. Kekufuran yang diagungkan, keserakahan yang dibanggakan, dan kenikmatan syahwat yang dituruti menjelma menjadi kerak dan karat yang membungkus kejernihan kalbu. Hati nurani yang seharusnya menjadi kompas pemandu kehidupan, tidak mampu menangkap cahaya kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Ramadlan hadir sebagai wujud kemurahan Tuhan. Siapa saja (mukmin) yang mau menyambut uluran tangan-Nya, maka dia akan memperolah kemuliaan. Dia akan kembali menjadi manusia pada kondisi awal penciptaan, yang jernih pikirannya dan bersih hatinya.
Menjaga Momentum
Ramadlan dan Idul Fitri dua momentum yang perlu dijaga sepanjang Syawal dan bulan-bulan berikutnya. Melanjutkan semangat Ramadlan pada bulan-bulan sesudahnya menjadi indikator penting dari keberhasilan dan penerimaan amal selama Ramadlan. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa menjaga amal saleh setelah Ramadlan merupakan tanda diterimanya ketaatan (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 1996). Itulah sebabnya, kata Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, bahwa para sahabat dan ulama Salaf sangat antusias dalam menyempurnakan amal pasca-Ramadlan (Lathaiful Ma’arif, 1999).
Ramadlan membawa spirit untuk meningkatkan spiritualitas, menjauhi maksiat, mengikis penyakit hati, serta membangun kepedulian sosial. Idul Fitri melahirkan spirit untuk menundukkan ego dan menjadi pribadi yang lebih egaliter dan terbuka. Spirit Ramadlan melahirkan ketenangan, ketulusan, dan kedamaian, sedangkan Idul Fitri membawa kenyamanan dan kegembiraan.
Perpaduan ketenangan, ketulusan, kedamaian, kenyamanan dan kegembiraan sangat berdampak pada kinerja dan produktivitas. Laurie Santos, pakar psikologi kognitif, mengingatkan bahwa kesejahteraan emosional meningkatkan efisiensi dan kinerja dan berkontribusi pada produktivitas yang lebih tinggi (Laurie Santos’ Pursuit of Happines, 2025). Oleh karena itu sangat disayangkan jika momentum ini tidak dijaga dan dimanfaatkan dengan baik dan benar.
Kembali ke Setelan Awal?
Masalahnya adalah banyak yang beranggapan bahwa Ramadlan adalah bulan penyucian diri karena janji pintu pengampunan dari Tuhan dibuka lebar dan kebaikan dilipatgandakan balasannya. Selesai Ramadlan merasa sebagai manusia yang terlahir kembali dengan membawa pahala yang melimpah. Seolah saving pahala sudah cukup, sedangkan dosa kepada Tuhan dan kesalahan kepada manusia sudah terampuni dan termaafkan.
Subyektivitas ini justru yang menutup semangat untuk menjaga konsistensi (ibadah) Ramadlan sekaligus membuka peluang terulangnya melakukan kesalahan dan dosa. Alih-alih meningkatkan kualitas kebaikan (ibadah dan produktivitas kerja), yang terjadi justru kembali seperti semula. Business is usual. (Jika) bertemu Ramadlan tahun berikutnya kondisinya seperti Ramadlan sebelumnya, begitu seterusnya. Starting point-nya masih pada titik yang sama. Tidak ada kemajuan.
Jadi, mau kembali ke setelan awal yang sudah-sudah (habit) atau kembali kepada setelan awal penciptaan sebagai manusia yang telah tercerahkan yang bertuhan, bersosial, berbudaya, dan bermoral? Pilihan ada pada kita dan pilihan itu dimulai di bulan Syawal.
Penulis: Syafi’i (Kepala Pusbangko. Manajemen, Kepemimpinan dan Moderasi Beragama Kemenag)