Ilustrasi jemaah sedang melaksanakan Thawaf Ifadhah. (Foto: pixabay.com)
JAKARTA, medinavoyage.id – Tawaf Ifadhah merupakan bagian dari rukun haji, yang berarti adalah salah satu pilar haji yang wajib dilakukan jemaah. Jika Tawaf Ifadhah tidak dilaksanakan, maka ibadah haji dianggap tidak sah.
Tawaf Ifadhah dilakukan setelah melempar jumrah aqabah dan tahallul, dan waktu utama untuk melaksanakannya adalah pada tanggal 10 Dzulhijjah, sebaiknya sebelum berakhir hari-hari tasyriq yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Syarat-syarat untuk melaksanakan Tawaf Ifadhah antara lain adalah jemaah harus dalam keadaan ihram, telah melakukan wukuf di Arafah, dan berniat untuk tawaf.
Hukum melaksanakan Tawaf Ifadhah adalah fardu (wajib), sesuai dengan ayat Al-Qur’an Surah Al-Hajj ayat 29 yang berbunyi:
ثُمَّ لْيَقْضُوا۟ تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا۟ نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا۟ بِٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيقِ
Yang artinya: “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan tawaf sekeliling rumah tua (Baitullah).”
Thawaf secara bahasa berarti mengelilingi. Mengutip NUOnline, dalam ibadah haji ada tiga jenis tawaf, yakni qudum, ifadhah, dan wada’. Tawaf ifadhah merupakan bagian dari rukun haji menurut ijma‘ para ulama.
Artinya, meninggalkan tawaf berdampak pada tidak sahnya ibadah haji. Ketentuan waktu tawaf ifadhah cukup longgar, dimulai sejak lewat tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah dan tak ada batasan kapan waktu terakhir tawaf.
Namun, yang utama, tawaf ifadhah dilakukan pada 10 Dzulhijjah usai melempar jumrah aqabah dan tahallul awal. Atau, dilaksanakan setelah itu, tetapi sebelum berakhirnya hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah).
Dalam konteks jemaah haji Indonesia, umumnya mereka dianjurkan untuk menunaikan tawaf ifadhah selepas fase Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) untuk keperluan menjaga stamina, menunggu bus Shalawat beroperasi, dan pertimbangan-pertimbangan lain.
Bila kepentingannya untuk kemaslahatan bagi jemaah, tawaf ifadhah yang dilakukan sesudah hari tasyriq pun tak kalah utama dari tawaf ifadhah pada rentang 10-13 Dzulhijjah.Ada beberapa syarat sah yang harus dipenuhi ketika melakukan tawaf:
1. Melaksanakan semua syarat sah shalat, yaitu suci dari hadats dan najis, menutup aurat, dan lain-lain. Hanya saja, dalam tawaf jamaah masih diperbolehkan bercakap dengan orang lain.
2. Pundak kiri lurus terus ke arah kiblat, tidak menoleh ke arah lainnya.
3. Putaran berlawanan arah jarum jam, dan dimulai dari titik Hajar Aswad.
4. Putaran dilakukan sebanyak tujuh kali. (Musthafa Said Al-Khin dan Musthafa Diyeb Al-Bugha dalam Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syafi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz I: 396).
Dengan demikian tawaf dilakukan dengan cara mengelilingi Baitullah atau Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran, dimulai dari Hajar Aswad dan berakhir di Hajar Aswad lagi. Jemaah yang sedang tawaf harus berada di dalam Masjidil Haram, meskipun di lantai dua atau tiga dengan posisi lebih tinggi dari Ka’bah atau terhalang melihat Ka’bah.
Ketika hendak memulai tawaf, jemaah disunnahkan menghadapkan badan secara penuh ke Ka’bah. Bila sulit atau tidak memungkinkan, boleh dengan posisi miring dengan cukup menghadapkan wajah ke arah kiblat sembari melambaikan tangan diiringi bacaan bismillâhi allâhu akbar kemudian mencium tangan tersebut.
Saat area Hijir Ismail dibuka, jamaah tak boleh berada di dalamnya selama prosesi tawaf. Sebab, Hijir Ismail merupakan bagian dari Ka’bah, sementara tawaf mensyaratkan jamaah berada di luar Ka’bah, bukan di dalamnya.Apabila jamaah menemukan kendala, misalnya lelah atau butuh ke toilet, ia bisa beristirahat atau jeda sejenak untuk menyelesaikan keperluannya tersebut di tengah-tengah tawaf.
Saat kembali, ia tinggal meneruskan atau menyambung dari titik mana ia tadi berhenti, dan tidak perlu mengulang dari awal putaran. Saat ragu tentang titik berhenti itu atau bimbang tentang jumlah putaran, jamaah perlu memilih titik yang dianggap paling meyakinkan atau jumlah putaran yang paling sedikit.
Prinsipnya, lebih baik melebihi daripada mengurangi jarak atau jumlah putaran tawaf.Pada saat melaksanakan tawaf, jamaah disunnahkan melakukan hal-hal berikut:
1. Melakukannya dengan berjalan kaki, tanpa fasilitas kendaraan apa pun, kecuali bagi mereka yang lemah;
2. Mencium Hajar Aswad bila memungkinkan atau memberi isyarat mencium Hajar Aswad setiap kali melintasinya;
3. Berjalan cepat (ramal) saat putaran 1-3 dan berjalan biasa saat putaran 4-7;
4. Shalat sunnah dua rakaat sesudah tawaf di belakang Maqam Ibrahim;
5. Bagi pria mengenakan pakaian ihram model idhtiba’ atau menampakkan pundak sebelah kanan dengan meletakkan bagian tengah selendang di bawah bahu kanan, sedangkan kedua ujungnya di atas bahu kiri.
Aturan Cium Hajar AswadIstilam atau menyentuh Hajar Aswad memang sunnah dilakukan dalam kondisi normal dan situasi longgar. Namun, hukum sunnah ini berubah menjadi haram tatkala akan terjadi mudarat bagi diri sendiri atau orang lain akibat saling berebut, saling dorong, dan saling menyakiti. Rasulullah pernah melarang Sayyidina Umar ikut berdesakan di Hajar Aswad karena potensial menyakiti orang lain.
Musim haji adalah musim padat manusia. Suasana desak-desakan dan saling sikut amat sulit terhindarkan. Jamaah haji tak perlu memaksakan diri mencium langsung Hajar Aswad, apalagi hukumnya sekadar sunnah. Ada yang lebih penting dijaga, yakni keselamatan diri dan orang lain. Lagi pula, wajarkah menunaikan sunnah dengan cara-cara merugikan diri sendiri dan orang lain?
Memang, cara bersentuhan dengan Hajar Aswad paling ideal adalah dengan menciumnya dan meletakkan dahi di atasnya. Namun, kala itu tidak memungkinkan, ada cara lain yang juga diajarkan syariat, di antaranya:
1. Mengusap Hajar Aswad dengan tangan, tongkat, atau lainnya kemudian mencium tangan atau benda itu;
2. Melambaikan tangan kanan, sapu tangan, serban, atau sesuatu lainnya dari jauh ke arah Hajar Aswad kemudian mencium tangan atau benda tersebut.