Ilustrasi. (Foto: pngtree)
JAKARTA, medinavoyage.id — Kisah para ulama selalu menarik untuk dipelajari. Untuk kepentingan akademis, kisah ulama membentangkan kepada kita perjalanan mereka menuntut ilmu, mengembangkan ilmu, hingga mewariskan ilmu melalui tulisan atau kader. Untuk kepentingan non-akademis, kisah ulama memberi kita pengalaman spiritual untuk meniti jalan menuju puncak-puncak spiritual.
Kisah para pengumpul hadits mengajarkan kita terkait semangat yang tinggi untuk belajar sekaligus mendokumentasikan hal-hal penting dalam keyakinan Islam, yakni perkataan Nabi Muhammad SAW.
Mereka mengumpulkan, kemudian melakukan verifikasi terhadap hadits tersebut baik dari segitu konten maupun periwayatnya. Dua hal sekaligus dilihat apakah hadits tersebut benar dan apakah sang periwayat tersebut dapat dipercaya.
Kisah perjalanan mencari ilmu juga familier sekali dalam tradisi ulama. Syekh Yusuf al-Makassari tidak hanya belajar di Gowa, tapi juga di Banten, Aceh hingga ke berbagai negara di Timur Tengah.
Banyak tarekat dia pelajari, dan akhirnya memutuskan untuk cenderung pada Tarekat Khalwatiyah, yang membuatnya dikenal sebagai ‘tajul khalwati’. Pencarian ilmu mengandung spirit pencarian kebenaran sekaligus pencarian seteguk kearifan sebagai solusi dahaga intelektual.
Khidmah guru dan murid juga hadir dalam kisah para ulama. Orang bilang, jadi pintar itu mudah, tapi jadi beradab itu tidak mudah. Banyak bisa pintar secara intelektual, tapi belum tentu beradab. Kepintaran perlu dibarengi dengan keadaban.
Pintar saja tidak cukup, maka butuh adab, dan biasanya adab itu terkait dengan Khidmah murid kepada gurunya. Kisah murid yang awalnya ‘jadi pengangkat tas’ gurunya cukup sering kita dengar. Atau, mereka yang bantu mengetikkan tulisan tangan sang guru, kelak biasanya akan dapat berkah juga dari khidmah tersebut.
Dari ulama, kita juga belajar bagaimana berbeda pendapat. Manusia berasal dari keturunan yang sama, yakni sebagai anak-cucu Adam, tapi pikiran, emosi, dan kecenderungan manusia bisa berbeda-beda, apalagi konteks sosial masing-masing juga berbeda. Perbedaan antarulama terjadi pada level intelektual, yang di situ ada saling hormat.
Perbedaan pikiran idealnya tidak merusak silaturahmi atau persahabatan baik. Banyak orang berbeda pemikiran, bahkan keyakinan, tapi berkawan baik. Artinya, beda pikiran, mazhab, atau keyakinan tidak membuat kita menutup diri untuk berkawan sebagaimana layaknya manusia dengan manusia lainnya.
Tiap ulama memiliki keunggulan. Ada yang kuat dalam memorinya, tapi ada yang lebih kuat pada tulisannya. Buya Hamka pernah menyampaikan bahwa tulisannya lahir sebab ia mencatat. Artinya, ‘apa yang kita catat akan membantu banyak pada apa yang akan kita tulis.’
Benar. Misal, kita hadir seminar. Kita catat pointer intinya saat kawan kita tidak catat. Setelah itu, mintalah masing-masing menulis. Besar kemungkinan yang punya catatan tadi lebih banyak menulisnya ketimbang yang hanya mengandalkan hafalan.
Karamah para ulama biasanya natural, dan diketahui lewat pengalaman. Maksudnya begini, apa yang ditulis tentang karamah seseorang adakalanya tidak lengkap sebagaimana pengalaman orang yang berinteraksi dengannya.
Kemuliaan kelihatannya lebih terasa dalam jika dirasakan sendiri, bukan lewat cerita orang lain. Itulah mengapa kenikmatan dzikir misalnya, rasanya sulit untuk dinikmati betul, kecuali oleh mereka yang merasakannya. Seorang tokoh Muslim Mesir pernah menulis, bahwa ‘hidup di bawah naungan Alquran itu nikmat, dan kenikmatannya tidak akan diketahui kecuali oleh mereka yang merasakannya.’
Maka, kadang kita lihat orang yang berilmu itu lebih banyak diam ketimbang berbicara. Kalaupun berbicara, mereka memilih kalimatnya, atau bahkan memilih topik-topiknya. Terlalu banyak bicara akan menjatuhkan kita; tapi selektif berbicara akan menyelamatkan kita.
Sebaik-baik perkataan, kata peribahasa, adalah yang sedikit tapi argumentatif. Mungkin itulah yang membuat ulama tertentu memilih diam untuk hal tertentu, atau memilih tidak ‘rame di medsos’, tapi memilih menyampaikan langsung kepada pihak berkepentingan.
Dalam dunia Islam dewasa ini, kita melihat banyaknya lahir intelektual dari berbagai latar keilmuan. Kehadiran mereka semakin memperkaya khazanah intelektual Muslim yang dulu pernah menjadi ‘ruh peradaban’ manusia. Namun, ada kekhawatiran sebagian kalangan bahwa kelahiran intelektual ini tidak berbanding lurus dengan sifat keulamaan.
Sebagian orang memisahkan antara intelektual dan ulama, apalagi saat ini kadang terpisah antara ‘orang saleh’ dan ‘orang pintar’, padahal jika melihat ayat Alquran, saleh dan pintar atau intelektual dan ulama itu idealnya satu kesatuan dalam predikat ulul albab yang ‘berdzikir kepada Allah’ dan ‘memikirkan ciptaan Allah’ yang kemudian melahirkan keinsafan dalam dirinya bahwa semua ciptaan Tuhan ini tidak ada yang sia-sia, dan mereka berdoa agar dijauhkan dari api neraka. Jadi, ada gabungan pintar, saleh, dan takut neraka dalam diri mereka.
Ulama adalah pewaris Nabi, demikian konsepnya. Sebagai pewaris Nabi, mereka belajar dan mengamalkan ajaran-ajaran Nabi. Secara ideal, kita berharap makin banyak ulama dari negeri ini, baik yang kita kenal di media sosial atau mungkin yang tidak. Ulama adalah referensi umat dalam melihat, merasa, berpikir, dan bertindak.
Pekerjaan mencetak manusia unggul, apakah dengan nama ‘intelektual yang ulama’, ‘ulama yang intelektual’, atau sejenisnya, adalah pekerjaan mulia yang menjadi tanggungjawab kita semua.
Kata sebuah peribahasa, ‘adalah butuh satu kampung untuk membentuk seorang anak manusia.’ Artinya, semua kita perlu saling mendukung dalam mencetak anak manusia yang sempurna, atau mendekati sempurna, dalam segala sisi fitrahnya sebagai manusia.
Penulis: DR Yanuardi Syukur, anggota Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional