Ilustrasi. (Foto: quizizz.com)
JAKARTA, medinavoyage.id — Riba merupakan salah satu isu penting dalam ekonomi Islam yang telah menjadi diskursus mendalam di kalangan ulama, sejak periode klasik hingga kontemporer.
Keberagaman pendapat ulama fiqih dalam mendefinisikan, membatasi, dan menerapkan konsep riba di masa lalu hingga sekarang menunjukkan betapa pentingnya pemahaman riba dalam konteks keuangan dan bisnis.
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, sebagai empat mazhab utama dalam Islam, memberikan pandangan yang unik dan kaya terkait riba, baik dari aspek definisi hingga implementasinya dalam transaksi keuangan.
Analisis pada artikel ini mencoba mengkaji pandangan dari kitab-kitab klasik primer serta mengaitkannya dengan aplikasi riba dalam konteks keuangan kontemporer.Dukung kami untuk terus berkembang
1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi terkenal dengan pendekatan rasional dalam memahami berbagai persoalan fiqih, termasuk dalam hal riba. As-Sarakhsi dalam mendefinisikan riba sebagai berikut:
الربا في الشرع عبارة عن الفضل الخالي عن العوض المشروط في البيع
Artinya: “Riba dalam syariat adalah ungkapan tentang kelebihan (yang kosong dari) kompensasi yang disyaratkan dalam jual beli.” (Al-Mabsut, [Beirut, Dar al-Ma’rifah: 1989], juz XII, halaman 105).
Definisi menekankan bahwa riba adalah kelebihan dalam transaksi jual beli yang tidak disertai kompensasi sepadan, dan inilah yang menjadi inti pengharamannya.
Al-Kasani, membagi riba menjadi dua kategori utama:
والربا حرام بالكتاب والسنة وإجماع الأمة، وهو على نوعين: ربا الفضل وربا النسيئة
Artinya: “Riba diharamkan berdasarkan Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’ umat, dan terbagi menjadi dua jenis: riba fadhl dan riba nasi’ah.” (Bada’ius Shana’i, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2003], juz V, halaman 198).
Riba fadhl adalah tambahan yang terjadi dalam pertukaran barang sejenis, sementara riba nasi’ah adalah tambahan akibat penundaan waktu pembayaran dalam transaksi kredit.
Mazhab Hanafi menetapkan bahwa ‘illat (sebab) riba adalah takaran atau timbangan disertai kesatuan jenis.” (Al-Kasani, V/198).
Dalam konteks ini, jika terjadi pertukaran barang yang sejenis (misalnya emas dengan emas atau gandum dengan gandum), tambahan apapun di luar nilai barang tersebut dianggap riba.
Riba qardh dalam mazhab Hanafi dikenal sebagai riba yang terjadi dalam transaksi pinjaman. Dalam kasus pinjaman (qardh), setiap tambahan yang dipersyaratkan atas pokok pinjaman dianggap sebagai riba. Misalnya, jika seseorang meminjamkan sejumlah uang dan mensyaratkan pengembalian yang lebih dari pokok pinjaman, tambahan tersebut masuk dalam kategori riba yang diharamkan. Al-Kasani menegaskan:
فلا يجوز أن يكون في القرض شرط من نفع، فإنه ربا
Artinya: “Tidak boleh ada syarat manfaat dalam pinjaman, karena itu adalah riba.” ((Al-Kasani, V/198)
2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki memiliki pendekatan yang tekstual namun juga mempertimbangkan konteks. Imam Malik mendefinisikan riba secara spesifik terkait barang-barang yang ditakar dan ditimbang.
Imam Malik dalam menyatakan:
قال مالك: الربا في كل شيء يكال أو يوزن من الطعام والشراب
Artinya: “Riba terdapat pada setiap sesuatu yang ditakar atau ditimbang dari makanan dan minuman.” (Al-Mudawanah, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2007], juz III, halaman 42).
Pendapat ini menunjukkan bahwa riba, menurut mazhab Maliki, berlaku pada barang-barang yang memiliki kesamaan dalam cara penentuan nilainya (takaran atau timbangan), terutama terkait dengan komoditas makanan.
Ibnu Rusyd menjelaskan:
اتفق العلماء على أن الربا في شيئين: في البيع والسلف. فأما الذي في البيع فهو نوعان: الزيادة في أحد المتماثلين والتأخير
Artinya: “Para ulama sepakat bahwa riba terdapat pada dua hal: dalam jual beli dan hutang-piutang. Adapun riba yang terjadi dalam jual beli terbagi dua: riba tambahan dalam pertukaran barang sejenis (fadhl) dan riba atas penangguhan masa pembayaran (nasi’ah).” (Bidayatul Mujtahid, [Maroko, Darul Hadits: 1998], juz III, halaman 155).
Mazhab Maliki menetapkan bahwa ‘illat riba adalah sifat dapat dimakan dan dapat disimpan. (Ibnu Rusyd, III/156).
Riba qardh dalam mazhab Maliki juga memiliki prinsip yang sama dengan mazhab lainnya, yakni setiap tambahan yang ditetapkan dalam kontrak pinjaman dianggap sebagai riba. Imam Malik sangat tegas dalam menekankan bahwa setiap keuntungan yang diperoleh dari transaksi hutang-piutang tanpa adanya jasa atau usaha yang sah adalah riba yang dilarang.
3. Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i sangat metodologis dalam menguraikan masalah riba. Imam As-Syafi’i memberikan penjelasan terkait dua jenis riba:
قال الشافعي: والربا من وجهين: النسيئة والتفاضل
Artinya: “Riba itu ada dua macam: penangguhan (nasi’ah) dan kelebihan (tafadhul).” (Al-Umm, [Beirut,Darul Ma’rifah: 1990], juz II, halaman 45).
Mazhab Syafi’i membagi riba menjadi dua kategori utama: riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl merujuk kepada tambahan dalam pertukaran barang sejenis yang terjadi secara langsung, sedangkan riba nasi’ah adalah tambahan yang dikenakan karena penundaan waktu dalam transaksi kredit.
Imam An-Nawawi menyatakan bahwa ‘illat (sebab) yang memicu riba dalam pandangan As-Syafi’i adalah sifat berupa barang moneter (seperti emas dan perak) dan sifat berupa makanan (yang menjadi kebutuhan dasar).” (Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut, Darul Fikr: 1997], juz IX, halaman 391).
Riba qardh dalam mazhab Syafi’i diperlakukan dengan prinsip yang serupa, yaitu setiap tambahan atas hutang yang dipersyaratkan dianggap riba. Imam As-Syafi’i menekankan bahwa setiap bentuk kompensasi tambahan atas transaksi qardh, baik berupa uang atau barang, dikategorikan sebagai riba dan dilarang keras. Dalam hal ini, qardh yang tidak disertai syarat tambahan merupakan bentuk pinjaman yang dibenarkan.
4. Mazhab HanbaliMazhab Hanbali, yang dikenal dengan pendekatan tekstual yang kuat dan berpegang pada dalil-dalil dari nash (teks) Al-Quran dan hadits, juga memiliki pandangan yang tegas terkait riba. Imam Ahmad ibnu Hanbal, pendiri mazhab Hanbali, memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dari mazhab-mazhab lainnya terkait definisi riba, namun dengan pendekatan yang lebih rigid dalam penerapannya.
Ibnu Qudamah menjelaskan definisi riba sebagai berikut:
الربا هو الزيادة المشروطة في الشيء المتماثل إذا بيع بعضه ببعض
Artinya: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan pada barang sejenis ketika dijual sebagian dengan sebagian lainnya.” (Al-Mughni, [Beirut: Darul Kitab Al-‘Arabi: 1997], juz IV, halaman 35).
Pandangan ini menegaskan bahwa riba terjadi ketika ada penambahan atau kelebihan dalam pertukaran barang yang memiliki jenis yang sama, yang tidak seimbang dalam nilai tukarnya.
Lebih lanjut, Imam Ibnu Qudamah menegaskan dalam kitab yang sama, bahwa ‘illat yang memicu terjadinya riba ini adalah: timbangan atau takaran ketika ada kesamaan jenis.” (Ibnu Qudamah, IV/42).
Riba qardh dalam Mazhab Hanbali juga dipandang sebagai riba yang dilarang. Setiap bentuk tambahan yang dikenakan pada pokok pinjaman dianggap sebagai bentuk eksploitasi yang dilarang dalam Islam. Pandangan ini didasarkan pada ajaran Al-Quran dan hadits yang melarang setiap bentuk riba.
Dalam hal ini, Imam Ahmad menekankan bahwa pinjaman yang seharusnya bersifat tolong-menolong dan tidak mengambil keuntungan seharusnya tidak memuat syarat tambahan apapun. Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu hadits yang terkenal:
لا يحل مال امرئ مسلم إلا عن طيب نفس منه
Artinya: “Tidak halal harta seseorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya” (HR Ahmad).
Titik Temu Dari paparan yang cukup panjang di atas, pandangan mengenai riba dari keempat mazhab tersebut menunjukkan, adanya kesepakatan fundamental bahwa riba adalah bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam, baik riba fadhl, nasi’ah, maupun riba qardh.
Masing-masing mazhab memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemahaman dan penerapan hukum riba, serta menjelaskan dengan rinci mengapa setiap bentuk tambahan dalam transaksi hutang-piutang harus dihindari.
Riba qardh yang berhubungan dengan transaksi pinjam meminjam dana, menjadi salah satu isu penting dalam transaksi ekonomi Islam, di mana para ulama empat mazhab sepakat, bahwa setiap syarat tambahan manfaat dalam pinjaman merupakan bentuk eksploitasi yang dilarang.
Hal ini disebabkan, pelarangan riba qardh sangat sharih dalam Al-Quran dan Hadits, bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan praktik riba, yaitu riba jahiliyah yang terjadi dalam qardh (hutang piutang).
Demikian pula dalam hadits Nabi, dijelaskan bahwa, setiap utang-piutang yang mensyaratkan tambahan manfaat, adalah riba yang diharamkan. Sekaligus hal ini mencerminkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan tanggung jawab dalam transaksi keuangan Islam, yang merupakan inti dari prinsip-prinsip syariah dalam bermuamalah.
Karena itu, pemahaman mendalam mengenai pengertian riba, termasuk riba qardh, sangat penting untuk diterapkan dalam praktik keuangan modern, agar transaksi keuangan yang dilakukan tidak hanya sesuai dengan syariat Islam tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Wallahu a’lam.
Oleh: Ustadz Abdussalam, Mahasiswa Doktoral Ekonomi Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Sumber: NU Online