Ka’bah. (Foto: wallpapercave.com)
JAKARTA, medinavoyage.id — Nabi Ibrahim as membangun kembali Ka’bah yang telah rata dengan tanah. Letak Ka’bah yang dibangun Ibrahim tepat di lokasi Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Adam as.
Tinggi Ka’bah 14 meter, panjang dari arah Multazam 12,84 meter, panjang dari arah Hijir Isma’il 11,28 meter, antara Rukun Yamani dan Hijir Isma’il 12,11 meter dan antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad 11,5 meter.
Setiap Muslim boleh menziarahi Ka’bah. Orang yang menetap di sekitar Ka’bah disebut jiwârullâh (tetangga Allah), sedangkan orang yang hanya berkunjung atau jemaah haji disebut dhuyûfullah (tamu Allah).
Ka’bah merupakan tempat pertobatan di Bumi yang diperuntukkan bagi seluruh manusia sehingga Ka’bah tidak boleh dimiliki oleh siapa pun, oleh negara mana pun. Ka’bah tidak boleh diperjualbelikan. Kaum Muslimin memiliki hak yang sama terhadap Ka’bah, baik mereka yang tinggal di sekitar Ka’bah maupun pendatang atau orang yang hanya sekadar lewat.
Ka’bah merupakan tempat suci, tempat berkumpul yang aman, untuk beribadah kepada Allah dalam bentuk thawaf, i’tikaf, ruku’ dan sujud. Ka’bah tidak boleh dikotori dengan kemusyrikan. Di sekitar Ka’bah tidak boleh terjadi tindak kejahatan. Siapa pun yang berada di sekitar Ka’bah dilarang memiliki niat jahat, apalagi melakukan tindak kejahatan yang nyata.
Larangan ini dimaksudkan agar di sekitar Ka’bah tercipta kedamaian, ketenteraman, dan kebebasan manusia melaksanakan kegiatan ibadah.Memandang Ka’bah termasuk ibadah. Karena itu memandang kubus raksasa hitam ini menjadikan hati tenteram, jiwa terasa aman, terlindungi dari segala gangguan dan ketakutan.
Memandang Ka’bah bisa menimbulkan rasa haru dan kagum. Namun demikian, tidak boleh membentuk pola pikir yang menjurus pada kemusyrikan, misalnya jadi lebih mengagungkan Ka’bah ketimbang Allah swt.
Melihat Ka’bah perlu dibarengi dengan kekaguman terhadap kebesaran Allah melalui dzikir dan doa yang dibaca dalam hati dan lisan. Dengan demikian, melihat Ka’bah bukan tertuju pada bangunannya, tapi kepada Allah, dengan meyakini bahwa objek sesembahan bukan Ka’bah itu sendiri melainkan Allah Sang Pemilik Ka’bah.
Sumber: Ditjen PHU Kemenag RI