Ilustrasi. (Foto: freedomnesia.id)
Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ ِللّٰهِ رَبِّ الْمَشَارِقِ وَالْمَغَارِبِ، خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ طِينٍ لَازِبٍ، ثُمَّ جَعَلَهُ نُطْفَةً بَيْنَ اْلصُلْبِ وَالتَّرَائِبِ، خَلَقَ مِنْهُ زَوْجَهُ وَجَعَلَ مِنْهُمَا اْلأَبْنَاءَ وَاْلأَقَارِبَ
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ القَوِيُّ اْلغَالِبُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُ اْلمَلِكِ اْلوَاهِبِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَرَسُوْلِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ
فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ، حَيْثُ قَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْعَزِيْزِ: يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Marilah kita tingkatkan iman dan takwa kita kepada Allah SWT dengan sebenar-benar takwa, dan dengan demikian, insya Allah kita akan mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah.
Jamaah yang berbahagia
Bersyukur kepada Allah merupakan kewajiban kita sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk dengan struktur ruhaniyah dan jasmaniyah yang terbaik, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4:
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ في أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Dalam kesempatan ini, mensyukuri nikmat Allah dalam segala dimensinya; yaitu dengan memperbanyak ibadah, di antaranya melaksanakan shalat dan membaca Al-Qur’an. Semua itu kita lakukan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita dan selanjutnya memperoleh ridha Allah SWT. Selain bersyukur kita juga harus bersabar karena kedua-duanya merupakan benteng yang paling kokoh untuk menghadapi ujian hidup. Syukur dan sabar itulah yang membedakan manusia apakah tetap pada fitrahnya sebagai makhluk terbaik, ataukah jatuh ke tingkat terendah,
ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سٰفِلِيْنَۙ
kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh.
Selanjutnya, marilah kita selalu melakukan tazkiyatunnafs atau penyucian jiwa agar tetap berada pada posisi mulia di hadapan Allah SWT, keadaan suci ketika Allah menciptakan kita. Allah telah menyatakan bahwa pada masa dulu kala, yaitu apa yang disebut primordial time, Allah bertanya kepada manusia, “bukankah Aku tuhanmu?”. Maka manusia menjawab, Betul, ya Allah, Engkau tuhanku.”
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا
Maka, kembali kepada fitrah berarti kembali kepada tauhid dan menjauhkan syirik; kembali kepada komitmen sebagai seorang muslim yang sejati. Nabi Muhammad SAW berkata bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang membuat dia Yahudi, Nasrani atau Majusi. Maka itu juga berarti memperteguh komitmen kita untuk mengamalkan ajaran Islam secara sungguh-sungguh dan kembali kepada keadaan ketika kita masih bersih dari dosa, bersih dari penyakit hati, akibat pengaruh-pengaruh buruk selama perjalanan hidup kita sejak lahir sampai sekarang ini.
Hadapkan mukamu kepada Agama Islam dengan tegak lurus, sebagai fitrah yang telah diberikan kepada manusia; tidak ada perubahan bagi ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. Mudah-mudahan kita berhasil kembali kepada fitrah dalam arti yang sesungguhnya. Amin, ya rabb al-alamin.
Dilihat dari sudut ajaran, Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi kebutuhan manusia di mana saja dan kapan saja, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Jika manusia sungguh-sungguh mengamalkan ajaran agama, maka ia akan memperoleh kesejahteraan lahir dan batin. Namun demikian, dalam kenyataannya tidaklah semua manusia beragama serta merta mencapai tujuan hidup yang dijanjikan oleh agama. Sebabnya mungkin terletak pada kesalahan dalam memahaminya atau lemahnya komitmen untuk mewujudkan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks peradaban manusia ada tiga macam kecenderungan yang terjadi pada umat Islam. Masing-masing kecenderungan itu dibentuk oleh pengalaman mereka dalam menghadapi tantangan zaman. Kecenderungan pertama ialah pandangan bahwa Islam sesungguhnya merupakan established religion, yaitu agama yang sangat menekankan aspek-aspek normatif. Agama dipandang sebagai sesuatu yang formal, dan karena itu kualitas keagamaan seseorang lebih dilihat dari sudut pengamalan hukum-hukum Islam daripada penghayatan esensinya. Kehidupan agama semacam ini menjadi kering nilai-nilai spiritual, karena menekankan verbalisme agama. Di sini Islam dipandang sebagai agama yang hanya terdiri dari rukun-rukun Islam. Sehingga tingkat keislaman seseorang lebih diukur dengan pelaksanaan ibadah, seperti shalat, puasa dan haji.
Kecenderungan kedua ialah pandangan bahwa Islam sesungguhnya merupakan ethical religion, yakni agama yang menekankan pada etika. Dalam pandangan ini, Islam memiliki fungsi yang sangat penting dalam membangun etika umat. Islam dipandang sebagai agama yang mendorong pemeluknya untuk bekerja keras membangun dunia karena seorang Islam yang baik adalah orang yang hidupnya bermanfaat bagi orang lain. Ajaran Islam tentang keadilan, kejujuran, disiplin dan kepedulian sosial menjadi tekanan yang sangat penting. Kecenderungan ini terjadi akibat proses modernisasi dan sekularirasi yang membuat orang menganggap bahwa aspek-aspek ajaran teologi-normatif dan ritual tidak lagi memiliki relevansi dengan kehidupan modern.
Kecenderungan ketiga ialah pandangan bahwa Islam merupakan spiritual religion. Dalam pandangan ini Islam dihayati sebagai sesuatu yang spiritual, seperti yang diamalkan oleh para sufi pada masa-masa yang lalu. Pelaksanaan agama secara formal tidak lagi dipandang penting. Yang paling penting dalam menentukan kadar keislaman seseorang adalah penghayatan batiniyyah. Orang lebih baik tengelam di dalam lautan spiritual daripada terlibat dalam pergulatan dunia yang penuh tantangan. Pandangan seperti ini muncul sebagai reaksi terhadap formalisme beragama, atau kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peradaban materialistik dan sekuler, yang mengakibatkan krisis kemanusiaan dan spiritualitas.
Kita hanya bisa melaksanakan agama dengan baik jika kita tetap mempertahankan keseimbangan. Untuk mempertahankan keseimbangan beragama, Islam harus difahami sebagai agama yang tidak terpilah-pilah. Namun demikian, kecenderungan pemahaman Islam di atas masih bisa berfungsi sebagai pengatur ayunan pendulum agar tetap bergerak secara seimbang. Ketika manusia telah mencapai keberhasilan duniawi, maka mereka memerlukan spiritualitas untuk menghindari kegersangan ruhani. Ketika mereka demikian taat pada ajaran-ajaran formal agama, maka mereka memerlukan etika dan spiritualitas. Ketika mereka terserap ke dalam kehidupan spiritual, seperti yang dialami oleh para sufi, maka mereka memerlukan formalisme agar tidak kehilangan identitas agama dan agar agama berfungsi sebagai penggerak sejarah perjalanan umat.
Kita sama-sama menyaksikan bahwa Islam telah memberikan andil yang besar dalam perjalanan bangsa kita. Pada awal perkembangannya di negara kita, Islam menawarkan nilai-nilai persamaan derajat antar sesama manusia di tengah-tengah masyarakat yang tinggi-rendahnya ditentukan dengan sistem kasta. Jasa Islam ini menggambarkan semangat tauhid, bahwa di mata Allah semua manusia pada dasarnya sama, dan hanya berbeda karena kadar takwanya.
Pada masa-masa penjajahan dulu, Islam memberikan inspirasi untuk melakukan perlawanan terhadap bangsa asing yang menguras kekayaan tanah air kita dan menindas bangsa kita. Di masa-masa perang kemerdekaan, Islam kembali menjadi sumber motivasi bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Kalimat takbir, Allahu Akbar, memperkokoh semangat kepahlawanan bangsa kita, dan karena itu diabadikan dalam bentuk berdirinya Masjid Istiqlal, yang berarti Masjid Kemerdekaan. Demikian juga, ketika bangsa kita hampir hancur berantakan oleh konflik dan pertentangan yang ditimbulkan oleh golongan anti-tuhan, maka bangsa Indonesia yang relijius tampil ke depan untuk menyelamatkan bangsa kita dari kehancuran.
Patutlah kita camkan peringatan Allah, “Dan ingatlah nikmat Allah ketika kamu saling bermusuhan, maka Allah mendamaikan hatimu, dan kamu semua menjadi bersaudara. Dan ingatlah ketika kamu semua berada di tepi jurang kehancuran, maka Allah selamatkan. Demikianlah, Allah menerangkan tanda-tanda kekuasaannya, semoga kamu mendapatkan petunjuk jalan yang benar.” Wadzkuru ni’matallahi ‘alaikum idz kuntum a’da’an fa allafa baina qulubikum, fa ashbahtum bini’matihi ikhwana. Wa kuntum ‘ala syafa khufratin minannari fa anqadzkamum minha. Kadzalika yubayyinullahu lakum ayatihi la’allakum tahtadun (Ali ‘Imran: 103).
Saat ini kita sedang menyaksikan krisis yang melanda peradaban umat manusia. Krisis itu muncul akibat hilangnya keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan manusia modern. Hilangnya keseimbangan itu sungguh merupakan penyimpangan dari fitrah manusia yang diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah telah menciptakan kita sebagai makhluk yang tidak saja memiliki dimensi lahir, tetapi juga batin; tidak saja material, tetapi juga spiritual; tidak saja duniawi, tetapi juga ukhrawi; tidak saja membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga iman dan taqwa.
Keseimbangan itulah yang hilang dari peradaban modern yang sekarang ini diagung-agungkan di negara-negara sekuler. Peradaban sekuler itu bertumpu pada pemenuhan kebutuhan material. Orang mencari kebahagiaan dengan menumpuk kekayaan. Mereka beranggapan bahwa dengan kekayaan itu mereka akan hidup bahagia. Motivasi itulah yang membuat mereka rakus, mengabaikan etika dan moral, dan akhirnya bermuara pada eksploitasi oleh yang kaya terhadap yang miskin, oleh yang kuat terhadap yang lemah. Hukum ekonomi sekuler yang mengajarkan prinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya menyebabkan orang kehilangan al-akhlaq al-karimah atau akhlaq yang mulya. Sikap ini dikecam oleh Allah dalam Al-Qur’an, surat Al-Humazah:
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ، الَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗۙ، يَحْسَبُ اَنَّ مَالَهٗٓ اَخْلَدَهٗ، كَلَّا لَيُنْۢبَذَنَّ فِى الْحُطَمَةِ، وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْحُطَمَةُ، نَارُ اللّٰهِ الْمُوْقَدَةُ، الَّتِيْ تَطَّلِعُ عَلَى الْاَفْـِٕدَةِ، اِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُّؤْصَدَةٌ، فِيْ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ
“Celakalah setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya; dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya; sekali-kali tidak. Sesungguhnya dia akan dilemparkan ke dalam neraka khuthamah.” Peradaban yang materialistik dan yang mengabaikan spiritualitas ini akan menghasilkan manusia penyembah harta, dan karena itu Islam menawarkan kehidupan yang seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dan spiritual. Islam sama sekali tidak anti duniawi tetapi harus diimbangi dengan penghayatan ruhani dan kepedulian sosial yang tinggi.
Peradaban modern sekuler juga bertumpu pada kekuatan rasionalisme, dan mengabaikan kebutuhan emosi. Mereka beranggapan bahwa seluruh persoalan hidup ini bisa diselesaikan dengan rasio manusia, sehingga agama dianggap obsolete atau kedaluwarsa. Setelah mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka tidak lagi memerlukan Tuhan.
Baru-baru ini sebuah penelitian dilakukan terhadap para ilmuwan di negara-negara Barat. Ketika ditanya tentang kepercayaan mereka terhadap Tuhan, sebagian besar (55 %) mengingkari adanya Tuhan, dan hanya 30% yang percaya bahwa Tuhan itu ada. Akibat keadaan seperti ini, mereka menyembah ilmu pengetahuan dan teknologi dan mengabaikan iman dan taqwa. Pada akhirnya, mereka dilanda kegelisahan ruhani dan krisis spiritual. Islam selalu menekankan pentingnya ilmu dan iman, yang harus dikejar secara seimbang.
Peradaban modern sekuler juga menekankan pentingnya kecerdasan, dan melupakan pentingnya moral. Padahal, kecerdasan manusia akan mengantarkan pada kehancuran kalau tidak dikendalikan oleh moral yang luhur. Ketika nabi kita Muhammad saw mengatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia, beliau telah menyadari akan bahaya yang timbul manakala manusia telah mengabaikan prinsip-prinsip moral yang terpuji.
Oleh karena itu, kita umat Islam sekarang ditantang untuk menunjukkan bahwa agama kita merupakan kekuatan penyeimbang bagi peradaban yang penuh dengan krisis kemanusiaan dan spiritualitas itu. Allah swt menuntut kita untuk menunjukkan kepada dunia bahwa umat Islam adalah umat terbaik (khaira ummah), yang memiliki ciri-ciri hidup seimbang (ummatan wasathan). Dengan demikian, umat Islam akan menjadi saksi di hadapan seluruh umat manusia (syuhada ‘alannas) bahwa ajaran Allah ternyata merupakan rahmat universal (rahmatan lil ‘alamin).
Bangsa Indonesia sesungguhnya telah menjadi eksperimen bagi lahirnya masyarakat yang berkeseimbangan, karena pembangunan yang kita lakukan bertujuan untuk membentuk manusia seutuhnya. Oleh karena itu, agama memiliki peran yang sangat penting dalam setiap proses pembangunan bangsa. Bangsa kita perlu belajar dari sejarah perjalanan bangsa-bangsa yang hidup pada masa lalu. Kaum ‘Ad dan Tsamud, seperti yang diceritakan dalam al-Qur’an, menjadi hancur karena kehilangan keseimbangan.
Mereka menolak ajaran Allah karena merasa telah memiliki kemampuan akal yang tinggi. Qarun juga digambarkan sebagi orang yang hancur akibat silau dengan kekayaannya, tanpa diimbangi dengan landasan spiritual dan kesalehan sosial. Fir’aun juga menjadi contoh dalam al-Qur’an sebagai orang yang kehilangan keseimbangan karena kekuasaan, yang membuat lupa bahwa di sana ada Zat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah yang menjadikan langit dan bumi dan membuat hidup dan mati.
Contoh kehidupan manusia yang seimbang terdapat pada diri Rasulullah Muhammad saw. Beliau begitu rajin melaksanakan shalat dengan khusyu’ dan ikhlas, bermunajat kepada Allah agar diberikan kekuatan, dan tidak lupa minta ampun atau membaca istighfar. Para shahabat tahu bahwa Nabi tidak pernah berbuat dosa, dan bahkan seandainya melakukannya, Allah telah memberikan keampunan. Ketika shahabat bertanya kepada Nabi tentang ketekunan ibadahnya, maka Nabi menjawab, bahwa apa yang dilakukan sebenarnya belum sebanding dengan ni’mat Allah yang begitu besar diberikan kepadanya, tak terhitung jumlahnya. Pada saat yang sama, Nabi juga adalah seorang panglima yang terjun ke medan laga untuk menghadapi kekuatan-kekuatan yang mencoba menghancurkan sendi-sendi masyarakat Islam.
رَبَّنَا اَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
وَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ ِللّٰهِ. اَلْحَمْدُ ِللّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَاْلعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ وَلاَ عُدْوَانَ إِلَّا عَلىَ الظَّالِمِيْنَ. اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلهَ اِلاَّ اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صَادِقُ الوَعْدِ الاَمِيْنُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Mengakhiri khutbah ini, marilah kita bermunajat kepada Allah dengan hati yang ikhlas semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita, serta menerima amal kebajikan kita. Semoga Allah senantiasa membimbing kita ke jalan yang benar, dan menjauhkan kita dari jalan yang sesat.
Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim. Engkaulah Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bukakanlah hati kami untuk menerima kebenaran yang Engkau ajarkan melalui rasul-Mu Ya Allah.
Ya Allah, Ya Qawiyyu, Ya ‘Aziz. Engkaulah Tuhan Maha Maha Perkasa dan Mahamulia. Berilah kami kekuatan lahir dan batin untuk melaksanakan ajaran Mu, ya Allah.
Ya Allah, Ya ‘Alim, Ya Hakim. Engkaulah Tuhan Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana. Berilah kami ilmu yang bermanfaat, kehidupan yang sejahtera, aman, damai, disertai ridhamu, Ya Allah.
اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَسْاَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَا نَعْلَمُ. اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَسْاَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَاسَاَلَكَ عِبَادُكَ الصَّالِحُوْنَ. اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَا نَعْلَمُ. اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اسْتَعَاذَكَ عِبَادُكَ الصَّالِحُوْنَ
اَللّٰهُمَّ اصْرِفْ عَنَّا السُّوْءَ بِمَا شِئْتَ وَكَيْفَ شِئْتَ اِنَّكَ عَلَى مَا تَشَاءُ قَدِيْرُ
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ
عِبَادَ الله
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Ust. Syafiq A. Mughni, Ketua PP Muhammadiyah
Sumber: Kemenag