Ilustrasi. (Foto: mui.or.id)
JAKARTA, medinavoyage.id – Di tengah perubahan sosial dan meningkatnya perdebatan tentang kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan, pertanyaan tentang peran wanita dalam ibadah semakin sering muncul. Salah satu pertanyaan yang menjadi sorotan adalah apakah wanita diperbolehkan menjadi khatib dalam shalat Jumat yang dihadiri oleh jamaah laki-laki.
Menanggapi hal ini, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa tentang “Hukum Wanita Menjadi Khatib dalam Rangkaian Shalat Jumat”. Fatwa tersebut dikeluarkan pada 13 Juni 2023, dan secara resmi ditandatangani oleh KH Junaedi selalu ketua, serta Kiai Miftahul Huda, Lc selaku Sekretaris. Fatwa tersebut juga disahkan Ketua Dewan Pimpinan MUI, Prof Dr KH M Asrorun Niam Sholeh, MA, serta Sekretaris Jenderal MUI, Dr H Amirsyah Tambunan, MA.
Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan bahwa posisi khatib dalam pelaksanaan shalat Jumat adalah hak dan tanggung jawab laki-laki. Hal ini tidak terlepas dari ketentuan agama yang mengatur tentang tanggung jawab laki-laki dalam ibadah yang bersifat publik seperti shalat Jumat.
Lebih lanjut, khutbah Jumat sendiri merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari ibadah tersebut. Sebagai rukun dalam shalat Jumat, khotbah harus dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat Islam, yang salah satunya adalah bahwa khatib harus laki-laki. Fatwa ini juga menyoroti pentingnya menjaga pelaksanaan ibadah agar tetap sesuai dengan tuntunan agama yang benar.
MUI secara resmi mengeluarkan Fatwa No. 38 tahun 2023, yang memutuskan terkait hukum wanita menjadi khatib dalam rangkaian shalat Jumat. Keputusan ini mencangkup beberapa ketentuan hukum penting, yaitu:
1. Kewajiban Shalat Jumat: Shalat Jumat hukumnya wajib bagi laki-laki muslim dan bersifat boleh bagi perempuan
2. Rukun Khutbah Jumat: Khutbah merupakan rukun dalam shalat Jumat yang harus diikuti sesuai ketentuan syariat, yaitu dilakukan oleh laki-laki
3. Khutbah Wanita: Khutbah yang dilakukan oleh wanita di hadapan jamaah laki-laki dinyatakan tidak sah
4. Shalat Jumat Tidak Sah: Shalat Jumat yang khotbahnya dipimpin oleh wanita di hadapan jamaah laki-laki dinyatakan tidak sah
5. Koreksi Keyakinan: Meyakini bahwa wanita boleh menjadi khatib dalam shalat Jumat di hadapan jamaah laki-laki merupakan keyakinan yang salah dan wajib diluruskan, serta pelakunya harus bertobat
Fatwa tersebut menegaskan bahwa jika khutbah dilakukan oleh wanita di hadapan jamaah laki-laki, maka khutbah tersebut tidak sah. Akibatnya, shalat Jumat yang khutbahnya dipimpin oleh wanita juga tidak sah menurut ketentuan syariat.
Selain menetapkan aturan ini, MUI memperingatkan bahwa keyakinan yang membolehkan wanita menjadi khatib dalam shalat Jumat adalah keyakinan yang keliru dan harus segera diluruskan. Mereka yang berpegang pada pandangan ini diwajibkan untuk segera bertobat dan memperbaiki pemahaman mereka sesuai dengan syariat.
MUI juga memberikan beberapa rekomendasi penting kepada umat Islam agar lebih waspada terhadap berbagai bentuk penyimpangan ajaran agama. Salah satu rekomendasi yang sangat ditekankan adalah pentingnya berhati-hati dalam memilih tempat pendidikan bagi anak-anak, serta memastikan agar ajaran agama yang lurus tetap terjaga dan terhindar dari berbagai bentuk penodaan dan penyimpangan.
Fatwa ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terkait peran wanita dalam rangkaian shalat Jumat, serta memberikan panduan bagi umat Islam agar tetap mematuhi ajaran agama yang sahih.