Ilustrasi. (Foto: Kemenag)
JAKARTA, medinavoyage.id–Harapan utama melaksanakan ibadah haji dan umrah adalah diterimanya ibadah di sisi Allah dan mendapatkan derajat haji mabrur, yaitu haji yang diterima oleh Allah dan memberikan dampak positif, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain, tidak hanya untuk menggugurkan kewajibannya atau faktor lain selain ibadah.
Di antara syarat diterimanya haji dan mendapatkan haji mabrur adalah biaya yang digunakan untuk haji dan umrah berasal dari harta yang murni halal, tidak bercampur dengan harta syubhat atau harta yang tidak jelas halal haramnya, lebih-lebih harta yang jelas haramnya seperti harta hasil korupsi. Dalam Hasyiyah Bujairimi diterangkan:
يستحب أن يحرص على مال حلال لينفقه في سفره فإن الله طيب لا يقبل إِلا طيباً ؛ وفي الخبر : مَنْ حَجَّ بمال حَرَامٍ إذا لَبَّى قيل له لا لَبَّيْكَ ولا سَعْدَيْكَ وحَجُّكَ مَرْدُودٌ عَلَيْكَ
Artinya, “Seseorang dianjurkan untuk betul-betul mencari harta halal, agar ia dapat menggunakannya di masa perjalanannya. Karena sungguh Allah itu maha baik, tidak akan menerima kecuali yang baik-baik.
Di dalam hadits dikatakan, ‘Siapa berhaji dengan harta haram, kalau ia berkata ‘labbaik’, maka dijawab malaikat, ‘La labbaik, wala sa’daik, kedatanganmu ditolak dan amalmu tidak diterima, dan hajimu tertolak’.” (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: t.t], juz II, halaman 243).
Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan:
كون النفقة حلالاً: ليحرص على أن تكون نفقته حلالاً خالصة من الشبهة، فإن حج بما فيه شبهة أو بمال مغصوب صح حجه عند الجمهور، لكنه ليس حجاً مبروراً. وقال أحمد: لا يجزيه الحج بمال حرام
Artinya, “(Termasuk adab melakukan perjalanan haji adalah) ongkos atau biaya yang digunakan adalah halal. Seseorang dianjurkan untuk betul-betul menggunakan ongkos haji dengan harta halal yang tidak bercampur syubhat.
Apabila seseorang haji dengan ongkos yang terdapat harta syubhat atau dengan harta ghasab maka hajinya sah menurut jumhur ulama, akan tetapi hajinya bukan haji mabrur. Imam Ahmad berkata, ‘Haji dengan harta haram tidak mencukupi kewajibannya’.” (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami Wa Adilatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz III, halaman 2408).
Walhasil, haji atau umrah yang dikerjakan dengan harta hasil korupsi hukumnya sah dan telah menggugurkan kewajiban haji atau umrah, menurut mayoritas ulama kecuali Imam Ahmad bin Hambal yang berpendapat haji atau umrah yang dikerjakan dengan harta haram belum mencukupi kewajiban haji atau umrahnya.
Namun demikian, pelakunya dinilai sebagai pelaku maksiat, haji atau umrahnya tidak diterima Allah, dan hajinya bukanlah haji mabrur. Yang ia dapatkan hanyalah lelah tanpa nilai pahala disisi Allah. Wallahu a’lam.Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.
Sumber: NU Online